Orang bilang kalau tidak cemburu maka tak sayang. Ada juga yang bilang kalau rasa cemburu itu dianggap dapat menambah dan menstimulasi perasaan cinta pada pasangan. Namun hati-hati, karena cemburu’buta’ juga bisa jadi bumerang pemutus hubungan cinta.
Cemburu dan cinta, kedua rasa ini bisa tumbuh secara alamiah. Bahkan cemburu tampaknya dijadikan suatu standar untuk menilai kasih sayang seseorang pada pasangannya. Namun jika cemburu sudah mulai mendatangkan 'penderitaan' dan terlalu mengganggu diri pasangannya secara fisik maupun psikis, maka sulit rasanya bagi pasangan satunya lagi untuk menikmati kebebasan hidup.
Orang yang cemburu biasanya cenderung memberi cinta pada pasangannya pada tingkat yang lebih dalam. Sehingga sang pasangan kerap merasa bahwa rasa cemburu si dia merupakan bagian dari cinta. Padahal cemburu tak melulu mengatasnamakan cinta, dan hal itu selalu digunakan sebagai alat pembenaran mengontrol pasangannya setiap waktu. Menanyakan keberadaan dan apa yang tengah dilakukan pasangan kala tidak bersama dengannya.
Titi P. Natalia, MPsi dari Empati Development Center, Jakarta mengungkapkan munculnya kecemburuan disebabkan oleh sikap possesif seseorang terhadap pasangannya. “Dalam diri orang tersebut, ada satu pengakuan jelas bahwa pasangannya hanyalah milik dia dan tidak untuk dibagi dengan orang lain. Orang itu pun tidak ingin kehilangan orang yang amat disayanginya dengan bersikap possesif,” jelasnya.
Kala rasa cemburu tersebut masih dalam ukuran yang sewajarnya, mungkin memang akan menambah rasa sayang. Tetapi bagaimana kalau cemburu tersebut sudah mulai tidak rasional, menjadi agresif dan malah mempersulit hidup pasangannya? Akibatnya, mungkin dapat kita lihat dari banyaknya kasus perceraian karena sikap pasangannya yang possesif.
Sayangnya, orang tersebut sulit mengakui bahwa dia pencemburu dan ‘over-protektif’. Bahkan sikap possesif yang amat sangat atau yang sudah bersifat seperti penyakit, kerapkali mendorong penderita terus merasa terdorong untuk mengawasi pasangannya, datang ke tempat kerja pasangan secara mendadak, dan terus-menerus menginterogasinya.
Alasan Bersikap Possesif
Sikap possesif yang berlebihan itulah yang dapat menjadi sesuatu yang berbahaya dan kerap mengakibatkan pertengkaran hebat serta kekerasan dalam rumah tangga. Walau bertengkar hebat lalu berbaikan memang lika-liku mengasyikan dalam hubungan percintaan, namun jika pertengkaran itu sering terjadi akibat kurang mempercayai pasanganya, bukan tidak mungkin pasangan untuk memutuskan hubungan tersebut.
Sikap possesif, kata Titi, kerap muncul pada berbagai pasangan dan mendorong orang tersebut untuk bertindak yang ‘over-protektif’ agar tidak kehilangan pasangannya. Possesif juga merupakan rasa kekhawatiran seseorang yang tidak bisa dipahami. Khawatir akan perubahan, khawatir hilang kemampuan mengontrol hubungan, khawatir kehilangan, dan khawatir ditinggal. Tentunya hal ini membuat pasangannya tak nyaman.
Namun, di balik sikap possesif, terdapat emosi yang sangat berpengaruh daripada possesif itu sendiri, yakni khawatir kebutuhan tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, Titi menyarankan agar orang yang memiliki pasangan yang bersikap possesif untuk mengetahui latar bekalang dia bersikap demikian. Sejak kapan dia mulai possesif, atau karena sebab apa dia mulai menunjukan sikap seperti itu. Apa dia dari dulu sudah seperti itu?
Diakui psikolog lulusan Universitas Indonesia ini, sikap possesif tersebut bisa jadi sinyal awal bahwa hubungan Anda berdua mulai kurang hangat atau dia sedang membutuhkan perhatian Anda. Sehingga dia memanfaatkan kecemburuan itu untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas hidup. “Tetapi sikap possesif ini juga disebabkan oleh pola asuh keluarga, dimana orangtuanya terlalu melindunginya. Ketika dewasa dan membina keluarga, tanpa disadari dia melakukan pola yang sama ketika dia masih kecil dahulu,” jelas Titi.
Selain itu, sikap possesif juga disebabkan oleh fanatisme yang berlebihan terhadap seseorang, dimana sang idola tersebut juga menerapkan pengawasan yang berlebihan kepada keluarga atau pasangannya. Akibat terlalu terobsesi dengan keberhasilan idolanya itulah, sadar atau tidak, orang tersebut bersikap sama dengan sang idola.
Psikolog yang gemar menyanyi dan travelling ini juga menjelaskan, beberapa orang yang bersikap possesif karena kebutuhannya akan rasa aman. Egonya yang tinggi dan dipengaruhi pengalaman buruknya, membuat seseorang merasa berhak untuk tidak memberi kebebasan seutuhnya pada pasangannya, mengontrol semua aktivitasnya agar dia merasa aman, disamping rasa curiga yang berlebihan.
Padahal dengan sikap possesifnya tersebut, bukan hanya pasangannya yang tidak nyaman terhadap kecurigaan dan cemburu yang berlebihan itu, justru dia pun merasa tidak nyaman. Pasalnya orang yang meragukan kesetiaan pasangannya tersebut juga selalu diliputi rasa was-was dan curiga terhadap pasangannya. Apalagi dasar seseorang menjalankan hubungan keintiman adalah adanya rasa saling percaya, kasih sayang, dan komitmen untuk membina hubungan yang harmonis.
Berpikir Positif
Sadar atau tidak, munculnya sikap possesif pada diri seseorang akibat adanya krisis kepercayaan, baik pada dirinya maupun pada pasanganya. Kepercayaan adalah dasar dalam hubungan cinta. Tidak diragukan bahwa hubungan cinta yang baik adalah hubungan yang didasari dengan kepercayaan.
Ketika seseorang meragukan kebenaran apa yang pasangannya katakan, itu artinya dia telah merusak arti kepercayaan itu sendiri. Ketidakpercayaan akan membuat orang tersebut sakit secara fisik dan mental.
Memang diakui Titi, tidak ada solusi yang mudah dan sederhana untuk menghadapi sikap possesif tersebut. Namun, dengan selalu melakukan berpikir positif dan berupaya untuk menemukan penyebab yang sebenarnya, maka perasaan itu pasti bisa teratasi. Sikap bijaksana pasangan diperlukan, dan jangan mengharapkan perubahan instan.
Oleh karena itu perlu kesadaran dari keduanya untuk memecahkan masalah tersebut. Pertama, ciptakanlah komunikasi yang baik dan saling terbuka, sehingga pasangan dapat mengetahui pelbagai kegiatan yang dilakukan setiap harinya.
“Cobalah memahami dan mengkomunikasikan perasaan serta kebutuhan masing-masing. Situasi adil harus tercipta agar dapat membuat keputusan dan peraturan yang tepat, sehingga masing-masing terpenuhi kebutuhannya,” papar Titi. Setidaknya pasangan menunjukkan kalau dirinya masih memiliki kepercayaan, dengan cara yang tidak bersikap possesif.
Berpikir positif dan mengkomunikasikannya, membuat pasangan jadi mengerti apa yang membuat pasangannya takut saat tak bersamanya. Ia dapat menjelaskan bahwa apa yang terjadi tak akan seperti yang dibayangkan. Keterbukaan tersebut bukan berarti seseorang harus selalu ‘lapor’ tiap saat kepada pasangannya, sehingga lambat laun kepercayaan terhadap dirinya maupun Anda mulai tumbuh.
Selain itu, Titi juga menyarankan pasangannya selalu memberi motivasi padanya untuk selalu tenang dan percaya diri saat dia dalam situasi sendiri. Mintalah padanya untuk membuang prasangka buruk bahwa Anda akan mengkhianatinya. Dan untuk lebih menyakinkan dia bahwa Anda adalah orang yang dapat dipercaya, telepon atau SMS (Short Massage Services) dia saat Anda jauh darinya. Atau ceritakan apa saja yang telah Anda lakukan saat tak bersamanya.
Hal kedua yang perlu dilakukan adalah selalu melibatkan pasangan dalam setiap kegiatan. Tentunya tidak semua kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, namun pasangan dapat diikutsertakan pada kegiatan yang lebih bersifat relasi sosial. Dengan melibatkannya dalam kegiatan tersebut, dia dapat mengetahui dan mengenal pelbagai kegiatan serta orang-orang yang berada di lingkungan Anda, sehingga kecurigaannya berkurang.
Diakui Titi beberapa orang yang possesif melampiaskan amarah yang meledak-ledak dengan berupa makian kata-kata kotor, bahkan mereka seringkali melakukan kekerasan fisik pada pasangannya untuk melampiaskan amarahnya.
“Memang ada beberapa orang bersikap possesif yang amat sangat atau yang sudah bersifat seperti penyakit kerapkali mendorong penderita terus merasa terdorong untuk mengawasai pasangannya. Penderita menjadi begitu terobsesi dengan bayangan perselingkuhan yang dilakukan pasangannya sehingga membuat hidupnya lebih merana,” jelasnya.
Orang yang bersikap possesif yang amat sangat tersebut perlu penanganan psikolog atau psikiater, untuk mengatasi masalahnya yang berkaitan dengan rendahnya percaya diri dan pemikiran yang irasional. Namun kala mengajaknya, yakinkan dia bahwa ini adalah masalah bersama. Jangan membuatnya seolah merasa menjadi pesakitan.
Titi pun mengingatkan, sikap possesif tak selamanya negatif. Wajar-wajar saja selama masih di ambang batas normal, Anda tak perlu merasa terganggu atau marah dengan ulahnya. Dalam kadar tertentu Anda bisa membiarkan kecemburuan dan pengawasannya tersebut sampai batas yang wajar. Atau bahkan menikmatinya.
Karena cemburu dan pengawasanya juga berarti sebuah ungkapan cinta dan takut kehilangan. Sebuah pertanda bahwa Anda masih begitu berarti bagi dia. Cemburu bahkan bisa dijadikan penyedap sekaligus pemacu semangat kemesraan dan gairah Anda berdua.
Cemburu dan cinta, kedua rasa ini bisa tumbuh secara alamiah. Bahkan cemburu tampaknya dijadikan suatu standar untuk menilai kasih sayang seseorang pada pasangannya. Namun jika cemburu sudah mulai mendatangkan 'penderitaan' dan terlalu mengganggu diri pasangannya secara fisik maupun psikis, maka sulit rasanya bagi pasangan satunya lagi untuk menikmati kebebasan hidup.
Orang yang cemburu biasanya cenderung memberi cinta pada pasangannya pada tingkat yang lebih dalam. Sehingga sang pasangan kerap merasa bahwa rasa cemburu si dia merupakan bagian dari cinta. Padahal cemburu tak melulu mengatasnamakan cinta, dan hal itu selalu digunakan sebagai alat pembenaran mengontrol pasangannya setiap waktu. Menanyakan keberadaan dan apa yang tengah dilakukan pasangan kala tidak bersama dengannya.
Titi P. Natalia, MPsi dari Empati Development Center, Jakarta mengungkapkan munculnya kecemburuan disebabkan oleh sikap possesif seseorang terhadap pasangannya. “Dalam diri orang tersebut, ada satu pengakuan jelas bahwa pasangannya hanyalah milik dia dan tidak untuk dibagi dengan orang lain. Orang itu pun tidak ingin kehilangan orang yang amat disayanginya dengan bersikap possesif,” jelasnya.
Kala rasa cemburu tersebut masih dalam ukuran yang sewajarnya, mungkin memang akan menambah rasa sayang. Tetapi bagaimana kalau cemburu tersebut sudah mulai tidak rasional, menjadi agresif dan malah mempersulit hidup pasangannya? Akibatnya, mungkin dapat kita lihat dari banyaknya kasus perceraian karena sikap pasangannya yang possesif.
Sayangnya, orang tersebut sulit mengakui bahwa dia pencemburu dan ‘over-protektif’. Bahkan sikap possesif yang amat sangat atau yang sudah bersifat seperti penyakit, kerapkali mendorong penderita terus merasa terdorong untuk mengawasi pasangannya, datang ke tempat kerja pasangan secara mendadak, dan terus-menerus menginterogasinya.
Alasan Bersikap Possesif
Sikap possesif yang berlebihan itulah yang dapat menjadi sesuatu yang berbahaya dan kerap mengakibatkan pertengkaran hebat serta kekerasan dalam rumah tangga. Walau bertengkar hebat lalu berbaikan memang lika-liku mengasyikan dalam hubungan percintaan, namun jika pertengkaran itu sering terjadi akibat kurang mempercayai pasanganya, bukan tidak mungkin pasangan untuk memutuskan hubungan tersebut.
Sikap possesif, kata Titi, kerap muncul pada berbagai pasangan dan mendorong orang tersebut untuk bertindak yang ‘over-protektif’ agar tidak kehilangan pasangannya. Possesif juga merupakan rasa kekhawatiran seseorang yang tidak bisa dipahami. Khawatir akan perubahan, khawatir hilang kemampuan mengontrol hubungan, khawatir kehilangan, dan khawatir ditinggal. Tentunya hal ini membuat pasangannya tak nyaman.
Namun, di balik sikap possesif, terdapat emosi yang sangat berpengaruh daripada possesif itu sendiri, yakni khawatir kebutuhan tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, Titi menyarankan agar orang yang memiliki pasangan yang bersikap possesif untuk mengetahui latar bekalang dia bersikap demikian. Sejak kapan dia mulai possesif, atau karena sebab apa dia mulai menunjukan sikap seperti itu. Apa dia dari dulu sudah seperti itu?
Diakui psikolog lulusan Universitas Indonesia ini, sikap possesif tersebut bisa jadi sinyal awal bahwa hubungan Anda berdua mulai kurang hangat atau dia sedang membutuhkan perhatian Anda. Sehingga dia memanfaatkan kecemburuan itu untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas hidup. “Tetapi sikap possesif ini juga disebabkan oleh pola asuh keluarga, dimana orangtuanya terlalu melindunginya. Ketika dewasa dan membina keluarga, tanpa disadari dia melakukan pola yang sama ketika dia masih kecil dahulu,” jelas Titi.
Selain itu, sikap possesif juga disebabkan oleh fanatisme yang berlebihan terhadap seseorang, dimana sang idola tersebut juga menerapkan pengawasan yang berlebihan kepada keluarga atau pasangannya. Akibat terlalu terobsesi dengan keberhasilan idolanya itulah, sadar atau tidak, orang tersebut bersikap sama dengan sang idola.
Psikolog yang gemar menyanyi dan travelling ini juga menjelaskan, beberapa orang yang bersikap possesif karena kebutuhannya akan rasa aman. Egonya yang tinggi dan dipengaruhi pengalaman buruknya, membuat seseorang merasa berhak untuk tidak memberi kebebasan seutuhnya pada pasangannya, mengontrol semua aktivitasnya agar dia merasa aman, disamping rasa curiga yang berlebihan.
Padahal dengan sikap possesifnya tersebut, bukan hanya pasangannya yang tidak nyaman terhadap kecurigaan dan cemburu yang berlebihan itu, justru dia pun merasa tidak nyaman. Pasalnya orang yang meragukan kesetiaan pasangannya tersebut juga selalu diliputi rasa was-was dan curiga terhadap pasangannya. Apalagi dasar seseorang menjalankan hubungan keintiman adalah adanya rasa saling percaya, kasih sayang, dan komitmen untuk membina hubungan yang harmonis.
Berpikir Positif
Sadar atau tidak, munculnya sikap possesif pada diri seseorang akibat adanya krisis kepercayaan, baik pada dirinya maupun pada pasanganya. Kepercayaan adalah dasar dalam hubungan cinta. Tidak diragukan bahwa hubungan cinta yang baik adalah hubungan yang didasari dengan kepercayaan.
Ketika seseorang meragukan kebenaran apa yang pasangannya katakan, itu artinya dia telah merusak arti kepercayaan itu sendiri. Ketidakpercayaan akan membuat orang tersebut sakit secara fisik dan mental.
Memang diakui Titi, tidak ada solusi yang mudah dan sederhana untuk menghadapi sikap possesif tersebut. Namun, dengan selalu melakukan berpikir positif dan berupaya untuk menemukan penyebab yang sebenarnya, maka perasaan itu pasti bisa teratasi. Sikap bijaksana pasangan diperlukan, dan jangan mengharapkan perubahan instan.
Oleh karena itu perlu kesadaran dari keduanya untuk memecahkan masalah tersebut. Pertama, ciptakanlah komunikasi yang baik dan saling terbuka, sehingga pasangan dapat mengetahui pelbagai kegiatan yang dilakukan setiap harinya.
“Cobalah memahami dan mengkomunikasikan perasaan serta kebutuhan masing-masing. Situasi adil harus tercipta agar dapat membuat keputusan dan peraturan yang tepat, sehingga masing-masing terpenuhi kebutuhannya,” papar Titi. Setidaknya pasangan menunjukkan kalau dirinya masih memiliki kepercayaan, dengan cara yang tidak bersikap possesif.
Berpikir positif dan mengkomunikasikannya, membuat pasangan jadi mengerti apa yang membuat pasangannya takut saat tak bersamanya. Ia dapat menjelaskan bahwa apa yang terjadi tak akan seperti yang dibayangkan. Keterbukaan tersebut bukan berarti seseorang harus selalu ‘lapor’ tiap saat kepada pasangannya, sehingga lambat laun kepercayaan terhadap dirinya maupun Anda mulai tumbuh.
Selain itu, Titi juga menyarankan pasangannya selalu memberi motivasi padanya untuk selalu tenang dan percaya diri saat dia dalam situasi sendiri. Mintalah padanya untuk membuang prasangka buruk bahwa Anda akan mengkhianatinya. Dan untuk lebih menyakinkan dia bahwa Anda adalah orang yang dapat dipercaya, telepon atau SMS (Short Massage Services) dia saat Anda jauh darinya. Atau ceritakan apa saja yang telah Anda lakukan saat tak bersamanya.
Hal kedua yang perlu dilakukan adalah selalu melibatkan pasangan dalam setiap kegiatan. Tentunya tidak semua kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, namun pasangan dapat diikutsertakan pada kegiatan yang lebih bersifat relasi sosial. Dengan melibatkannya dalam kegiatan tersebut, dia dapat mengetahui dan mengenal pelbagai kegiatan serta orang-orang yang berada di lingkungan Anda, sehingga kecurigaannya berkurang.
Diakui Titi beberapa orang yang possesif melampiaskan amarah yang meledak-ledak dengan berupa makian kata-kata kotor, bahkan mereka seringkali melakukan kekerasan fisik pada pasangannya untuk melampiaskan amarahnya.
“Memang ada beberapa orang bersikap possesif yang amat sangat atau yang sudah bersifat seperti penyakit kerapkali mendorong penderita terus merasa terdorong untuk mengawasai pasangannya. Penderita menjadi begitu terobsesi dengan bayangan perselingkuhan yang dilakukan pasangannya sehingga membuat hidupnya lebih merana,” jelasnya.
Orang yang bersikap possesif yang amat sangat tersebut perlu penanganan psikolog atau psikiater, untuk mengatasi masalahnya yang berkaitan dengan rendahnya percaya diri dan pemikiran yang irasional. Namun kala mengajaknya, yakinkan dia bahwa ini adalah masalah bersama. Jangan membuatnya seolah merasa menjadi pesakitan.
Titi pun mengingatkan, sikap possesif tak selamanya negatif. Wajar-wajar saja selama masih di ambang batas normal, Anda tak perlu merasa terganggu atau marah dengan ulahnya. Dalam kadar tertentu Anda bisa membiarkan kecemburuan dan pengawasannya tersebut sampai batas yang wajar. Atau bahkan menikmatinya.
Karena cemburu dan pengawasanya juga berarti sebuah ungkapan cinta dan takut kehilangan. Sebuah pertanda bahwa Anda masih begitu berarti bagi dia. Cemburu bahkan bisa dijadikan penyedap sekaligus pemacu semangat kemesraan dan gairah Anda berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar