Sementara di Indonesia, seperti dikemukakan Koordinator Pusat Studi Energi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Prasasto Satwiko, vegetarian banyak dianggap berkaitan dengan ajaran agama tertentu. Belum dipandang sebagai gaya hidup.
Kaum vegetarian baru di negara-negara maju sekarang menempatkan lingkungan dan etika sebagai alasan, ujarnya Kamis (10/7). Lingkungan dipakai sebagai alasan karena pemakaian energi untuk menghasilkan daging teramat mahal dan merusak alam.
Sementara etika berhubungan dengan manusia yang mestinya menghargai binatang sebagai sesama. Dalam bingkai perikemanusiaan, binatang jangan diperlakukan semena-mena. Sikap semena-mena, termasuk membunuh binatang secara keji, akan berimbas ke perilaku.
Gaya hidup itu bukan tentang orang yang smakan sayur dan buah karena tak suka mengonsumsi atau membeli daging. "Tapi tentang orang yang memakan sayur dan buah karena mereka suka dan mendapat manfaat, " ujar Prasasto yang juga vegetarian ini.
Proses membunuh hewan dan keterbiasaan manusia melihat penderitaan hewan-apalagi hewan konsumsi-sedikit banyak berdampak pada perilaku. Kenyataan membuktikan kaum vegetarian lebih bisa menjaga kestabilan emosi ketimbang orang yang mengonsumsi daging.
Gaya hidup vegetarian, disampaikan Prasasto, dalam beberapa tahun terakhir, sudah menjadi tren di negara maju seperti Inggris dan Selandia Baru. Namun uniknya, Selandia Baru adalah negara pengekspor daging ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar