Berdasarkan data Pengadilan Agama Bantul kasus perceraian tahun 2007 mencapai 699 kasus, padahal tahun 2006 baru 577 kasus. Tahun 2008 ini sampai dengan bulan Mei sudah ada 336 kasus.
Tren kasus perceraian di Bantul terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebulan rata-rata ada 60 kasus yang kami tangani. Sebagian besar karena faktor perselisihan. Perselisihan dipicu karena pihak laki-laki menelantarkan atau tidak memberikan nafkah kepada istrinya. "Kondisi ini memaksa pihak istri mengajukan gugatan cerai," kata Humas Pengadilan Agama Bantul, Jalaluddin, di kantornya, Rabu (25/6).
Menurut Jalaluddin, penelantaran adalah dampak dari kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga. Pihak suami tidak sanggup memberikan nafkah karena sulit mencari pekerjaan atau upah yang diterimanya tidak mencukupi. "Selain ekonomi motif lain adalah hadirnya orang ketiga yang membuat hubungan keduanya tidak harmonis. Sebagian besar yang bercerai berusia antara 30-40 tahun," katanya.
Beberapa kurun waktu terakhir, kasus perceraian selalu didominasi cerai gugat. Hal ini membuktikan bahwa perempuan tidak lagi takut dan merasa tabu menggugat cerai suaminya. Kalau dulu istri masih takut dan selalu dinilai negatif, tetapi sekarang pemahaman masyarakat sudah lain. "Hal tersebut adalah dampak semakin terbukanya informasi," katanya.
Jalaluddin menambahkan, untuk menekan angka perceraian, KUA harus lebih sering memberikan nasehat pra-perkawinan. Nasehat itu sangat dibutuhkan agar pasangan matang dan mantap memutuskan pernikahannya. "Kematangan ini menjadi bekal untuk kelangsungan perkawinannya," ujarnya.
Sebelum diputuskan cerai, kedua pasangan diberi solusi perdamaian terlebih dahulu. Namun, langkah ini biasanya jarang membuahkan hasil. Mereka tetap kukuh dengan pendirian masing-masing. "Nasihat kami untuk berdamai pun dengan mudahnya diabaikan," kata Muhamad Udiyono, Panitera Muda Hukum pengadilan Agama Bantul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar