"Dulu, uji DNA itu mahal, tapi sekarang saya sudah menemukan metode pengecatan yang murah, kemudian untuk menentukan jenis kelamin pun sudah dapat dilakukan dengan meneliti tulang rahang," katanya di Surabaya, belum lama ini.
Menjelang pengukuhan dirinya sebagai guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 4 Oktober lalu, ahli forensik RSUD dr Soetomo Surabaya itu menjelaskan ketepatan hasil penelitian yang dilakukannya juga sudah 100%.
"Untuk uji DNA di masa lalu melalui banyak tahap karena ada enam locus yang harus diuji, namun sekarang cukup dengan satu kotak bahan seharga Rp20 ribu untuk meneliti sekaligus menggandakan DNA," katanya.
Menurut staf pengajar FK Unair Surabaya itu, identifikasi secara antropologi forensik pun sekarang hanya Rp2 juta, padahal dulunya Rp10 juta.
"Kalau dulu mahal karena belum ada alat identifikasi yang baru dan mudah didapat, tapi sekarang sudah merupakan era biomolekuler, sehingga mudah dan murah. Uji DNA pun dilakukan jika antropologi forensik mengalami jalan buntu," katanya.
Bahkan, katanya, uji DNA saat ini sudah mampu meneliti jasad yang sudah membusuk, karena alat uji DNA untuk jasad yang membusuk sudah ditemukan yakni CT-AR.
"Dengan CT-AR, jasad yang membusuk dan hancur dapat diidentifikasi. Dulu, kita tak dapat melakukannya sehingga jasad Marsinah yang membusuk tak dapat diteliti, tapi sekarang sudah tak ada masalah," katanya.
Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik Unair kelahiran Sidoarjo pada 6 Nopember 1944 itu mengatakan CT-AR itu kini dimiliki Unair Surabaya dan tersimpan di TDC (Tropical Desease Center) kampus C Unair.
"Kami sudah mempraktekkan alat uji jasad yang membusuk dan hancur dalam tragedi bom Bali pada 2 Oktober lalu," katanya.
Ayah dua anak itu menambahkan kecanggihan alat dan metode dalam uji DNA dan indentifikasi forensik di Unair Surabaya itu sudah banyak dikenal di negara asing, sehingga saat ini ada mahasiswa Belanda yang belajar DNA.
"Saya juga dipercaya membantu ahli forensik Polisi Australia dalam identifikasi jasad pada tragedi bom Bali, padahal mereka sudah meminta bantuan ke Jakarta tapi tak ada tanggapan," katanya.
Bahkan, katanya, dirinya sempat diuji Polisi Australia untuk mengidentifikasi dua anak wanita asal Korea yang akhirnya berhasil dengan uji darah selama tiga hari dan uji gigi, sehingga tak perlu uji DNA.
Prof DR Indrayana dikukuhkan sebagai guru besar bersama dengan kandidat guru besar lainnya yakni Prof dr Soetjipto MS PhD yang meneliti Virus Hepatisi C (VHC) dengan pendekatan Biomolekuler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar